
Di dalam dunia akademis, Sebuah buku berjudul “ The End of Ideology “, Daniel Bell memberikan analisa futurologis terhadap globalisasi di saat Sosialisme Marxis dan Liberalisme klasik mengalami keruntuhan total. Sosialisme Marxis yang memimpikan kesempurnaan harmoni sosial di dalam masyarakat tanpa kelas dan Liberalisme Klasik yang memimpikan sorga komersial kapitalisme merupakan dua ideologi besar Barat di abad 19 yang melalui perjalanan sejarah mengalami jalan buntu sehingga runtuh total dan memicu munculnya ideologi-ideologi baru di negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika yang terlampau terbatas untuk dapat menarik minat khalayak pasca perang dunia ke 2 dan USA. Menurut Daniel Bell, hal tersebut terjadi karena orang Barat sudah kurang bisa menerima bentuk-bentuk ekstremis politik yang berbahaya dan lebih cenderung mengambil jalan tengah dalam “ welfare state “ menuju masyarakat yang lebih rasional dan tanpa kesusahan. Argumen diatas di satu sisi memberikan “ penghiburan “ kepada masyarakat yang mengalami trauma di dalam sepanjang perjalanan sejarah tersebut tetapi disisi yang lain justru tiada suara kepahlawan maupun kenabian muncul dari politik dan masyarakat sehingga Daniel Bell menanggapi pesimisnya masa depan globalisasi.
Setelah runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet pada tahun 1989 hingga 1990, Francis Fukuyama muncul di kancah “ futurologis “ meresponi runtuhnya rezim-rezim diatas bahwa dengan berakhirnya Marxisme dan Leninisme sebagai ideologi politik tidak menandai apapun kecuali “ titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia “. Berbeda dengan Daniel Bell, Fukuyama justru menganggapnya sebagai kemenangan telak liberalisme politik dan ekonomi dan kejayaan Barat serta penyebaran budaya konsumer ke seluruh dunia tidak bisa dibendung dalam perkembangan logis maupun kekuatan pasar. Fukuyama mempercayai : Pertama, demokrasi kapitalis Barat merupakan bentuk final dari pemerintahan umat manusia. Kedua, Globalisasi pasar bebas merupakan proses yang tak dapat diubah. Ketiga, norma-norma dan nilai-nilai Anglo-Amerika akan sangat meneguhkan kerangka budaya dunia yang mengalami deideologisasi ini sehingga Fukuyama menyimpulkan posisi USA saat ini sebagai satu-satunya negara superpower telah menjadikan “ Amerikanisasi “ sebagai suatu kemestian yang menyertai globalisasi. Pertanyaannya adalah bukankah globalisasi adalah proses kultural yang bukan satu dimensi tetapi multi dimensi ? Apakah globalisasi bikin orang makin sama atau beda ? Jika bikin “ Amerikanisasi “ maka itu misi homogen “ Mcdonalization “ yang efisien, cepat dan predictable menjadi standardisasi gaya hidup di seluruh dunia, tetapi jangan berarti keragaman kultural ditakdirkan lenyap. Roland Robertson mengatakan justru keragaman harus kuat dalam interaksi globalisasi dengan lokal dengan “ meminjam budaya – cultural borrowing “. Kesimpulan dari globalisasi di atas menunjukkan sebuah fakta globalisasi yang tidak bisa dihindari, begitu juga jurang pemisah kaya – miskin karena kekayaan yang tidak terdistribusi secara adil sehingga berakibat terjadinya kemiskinan, pengangguran, kelemahan dalam kesehatan, kebodohan dalam pendidikan maupun rusaknya lingkungan hidup.
Bagaimana orang kristen meresponi hal-hal di atas ? Seringkali globalisasi menghalalkan segala cara untuk exist dengan mamonisme ( idolakan uang ), hedonisme ( mengumbar nafsu ), terrorisme ( mengunakan kekerasan ) dan cenderung meninggalkan Tahta Tuhan. Meskipun realita globalisasi gak bisa dipungkiri eksistensinya tetapi budaya-budaya dan kelas sosial umat manusia harus ditebus di dalam darah Kristus sebagai satu-satunya pemersatu “ kedamaian “ yang mengasihi Allah serta sesamanya dengan mempertahankan iman yang orthodoks seperti akar kuat dan aktif mengalahkan dosa “ spiritual “ maupun “ sekuler “ in one seperti badai. Itulah Syalom yang “ Transformatif “ – dimulai dari hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, pengetahuan yang benar tentang Tuhan dan pengetahuan yang benar tentang manusia. Meskipun dunia ini telah sepenuhnya rusak karena dosa tetapi kesadaran menghasilkan dorongan bukan “ escape “ tetapi menjadi pagar pelindung dari ancaman dosa. Tuhan memberkati.
In His Time
Ev. Daniel Santoso
Taipei, Taiwan