Selasa, 16 Februari 2010

The Pluralist

Tgl 30 Desember 2009, Gus Dur menghembuskan nafas terakhir. Banyak orang merasa telah kehilangan teladan penting seorang negarawan, intelektual, agamawan dalam sejarah reformasi bangsa Indonesia, Tapi rupanya tidak sedikit sebagian orang yang menyumpahinya untuk masuk ke neraka akibat pemikiran “liberal” yang mengusik sebagian kaum muslim ekstrimist sehingga kehadiran musuh-musuh politiknya maupun sebagian muslim extremist menjadi gangguan yang tidak dapat dihindari oleh Gus Dur.. Well, memang tidak mudah menjadi seorang Gus Dur. Menurut Dr. Johan Effendi, salah seorang teman baik Gus Dur mengatakan bahwa Gus Dur adalah seorang visioner yang telah melihat terlalu jauh ke depan untuk memperjuangkan visi yang harus ia kerjakan untuk bangsa Indonesia dan seluruh dunia, sehingga banyak orang ketinggalan jauh untuk mengerti visi dan perjuangannya. Saya langsung teringat apa yang pernah diserukan oleh pendeta senior saya, Dr. Stephen Tong yang mengutip Dr. Sun Yat Sen: Ada tiga macam manusia di dalam dunia ini, Pertama, Tipe orang yang mengetahui terlebih dahulu apa yang akan terjadi dan biasanya orang demikian bakal dianggap seperti orang gila. Kedua, Tipe orang yang memiliki kesadaran tetapi sayangnya terlambat. Menurut Sun Yat Sen, at least, mereka masih memiliki kesadaran sehingga mereka dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki setiap kesalahannya. Ketiga, Tipe orang yang sudah tidak punya kesadaran alias tidak tahu apa-apa (tertidur). Jika perkataan Dr. Johan Effendi benar soal Gus Dur sebagai seorang visioner, maka Gus Dur tidak mungkin hidup “tenang” dalam hidupnya karena banyak orang belum dapat mengerti apa yang dipikirkan oleh Gus Dur alias mereka terlalu lamban untuk dapat mengerti visi beliau.

Meski demikian, tiada hentinya, Gus Dur tetap berjuang meneriakkan konsep kesetaraan manusia, demokrasi dan pembelaan hak-hak asasi manusia dalam pergumulan kancah politik bangsa Indonesia. Ia membela hak-hak asasi kaum minoritas dalam beberapa kasus seperti diskriminasi terhadap kaum Tionghoa, pembakaran tempat ibadah/gereja, kebebasan beragama minoritas maupun tuduhan kristenisasi gereja terhadap komunitas muslim (khususnya). Gus Dur memperjuangkan suara minoritas dan Gus Dur malah dianggap kyai murtad nan kafir. Meskipun Gus Dur adalah Muslim, tetapi baginya kemajemukan adalah pemberian Ilahi dari Sang Pencipta. Ia menerima kemajemukan bangsa Indonesia di dalam etika dignitas (ethic of dignity), bukan etika kebutuhan (ethic of interest). Siapapun mereka, mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia, oleh karena itu kita harus menikmati perbedaan tersebut dengan kembali kepada dasar negara bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Prof. Dawam Rahadjo memberikan penjelasan bahwa dalam UUD 1945, Hak Asasi Manusia (termasuk hak beragama dan pindah agama) adalah hak sipil warga negara. Pemikiran Gus Dur hanya dapat dipahami di dalam pengertian process yang progresif. Tidak sedikit, organisasi maupun lembaga agama, kebudayaan dan hak asasi manusia memberikan penghargaan kepada beliau atas konsep perjuangan pluralisme yang Gus Dur terus kerjakan sampai akhir hayatnya. Toleransi adalah kuncinya.

Meski Gus Dur adalah seorang pluralis, ia berani memberikan kritikan kepada individu, partai, pemerintah yang telah melangkah jauh dari batasnya. Misalnya, Ketika Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa Holocaust is a myth. Gus Dur terang-terangan menentang statement diatas karena Ahmadinejad telah berbohong dang mengingkari apa yang pernah terjadi di dalam sejarah dunia. Gus Dur memberikan komentar soal hubungan diplomatik Indonesia-Israel, Kalo China, negara komunis yang atheis dapat menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, kenapa Israel tidak boleh?

Dalam National Prayer Conference 2003, Gus Dur mengajak kaum minoritas (kristen) untuk tidak menganggap kaum extremist sebagai musuh, mereka adalah orang yang harus dididik kembali karena mereka berani berbuat kekerasan karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Satu kata buat Gus Dur! Luar biasa! Inilah tokoh pluralis yang menjalankan definisi pluralis dalam hidup bernegara yaitu menghormati rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi, memperjuangkan hak asasi manusia (kebebasan beragama).

Mengutip Dr. Stephen Tong, kebebasan umat beragama bukanlah diberikan oleh pemerintah, melainkan Anugerah Tuhan untuk semua umat manusia. Dalam buku “Iman, Penderitaan dan Hak Asasi Manusia”, Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa Tuhan menghormati hak asasi manusia, bahkan Ia terkadang menghargai hak asasi manusia untuk melawan Tuhan. Manusia diberikan hak kebebasan oleh Tuhan termasuk kemungkinan untuk melawan Tuhan. Itu adalah hak yang diberikan oleh Tuhan … disini kita dapat melihat bahwa Tuhan bukan diktator, dan Ia tidak menindas semua yang melawan-Nya. Tetapi waktu kita memakai hak asasi manusia untuk melawan Tuhan, maka itu berarti kita sedang membunuh hak asasi kita sendiri, karena hak asasi kita hanya dapat terjamin di dalam tangan Tuhan saja.

Selamat berjuang
Daniel Santoso
Beijing, China