Senin, 27 Juli 2009

Understand The Times 1

THE NEED OF THE CHURCH DISCIPLINE

Panggilan Gereja Reformed Injili Indonesia bukan hanya untuk memberitakan Injil maupun mengajarkan doktrin Reformed Injili, tetapi menjalankan disiplin gereja baik dalam doktrin/pengajaran maupun dalam aplikasi hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Panggilan tersebut sangat signifikan karena banyak gereja maupun orang kristen telah memasukkan konsep kafir ke dalam doktrin/ pengajaran maupun aplikasi hidup jemaat Tuhan, baik sadar maupun tidak sadar. Dalam hal ini, panggilan Gereja Reformed Injili Indonesia adalah mengajak setiap gereja dan jemaat Tuhan mengadopsi prinsip kekristenan yang benar. Hari ini kita belajar mengenai beberapa poin yang kita dapat pelajari dalam prinsip kekristenan dalam disiplin gereja adalah:

a. Tidak ada jalan pintas dalam mengenal Allah dan Kebenaran-Nya, kita harus kembali setia kepada Alkitab sebagai satu-satunya standar Allah . Konsep kesetiaan harus bermula dari akarnya, bukan buahnya. Jika akarnya tidak setia maka buahnya pun hasil dari ketidaksetiaan. Seorang pemuda mengatakan kepada saya, bolehkan saya menginjili orang lain dengan akar teologi sukses dan mengharapkan mereka dapat menerima teologi penderitaan Kristus. Saya mengatakan, kebenaran itu tunggal, tidak ada double standard, maka mengenal Allah dan kebenaran-Nya harus kembali kepada akar yang sakral dan kebenaran yang sakral pula. .

b. Jemaat Tuhan harus mau rela mendengar dan taat kepada Allah. Hari ini banyak jemaat Tuhan melayani Tuhan tetapi semuanya itu belum menjamin ia pasti mau dengar dan taat kepada Allah. Keterlibatan jemaat dengan Allah menjadi poin penting karena keterlibatan itulah yang membuat setiap kita dapat menikmati apa yang kita dengar dan kita responi dengan taat menjalankan perintah Allah.

c. Keterlibatan Tuhan-jemaat-Nya mengarahkan kita untuk mengikuti jalur Tuhan, yaitu Firman Tuhan adalah Allah dan Kebenaran yang menjadi patokan dalam konsep nilai manusia dalam menilai segala sesuatu. Hari ini banyak gereja justru mengambil patokan bukan ikut jalur Tuhan tetapi mengikuti jalur kerelatifan dalam pengalaman manusia maupun nubuat. Dunia semakin memberanikan diri untuk membungkam mulut orang kristen agar tidak berani mengambil patokan yang jelas dalam mendidik gereja dan jemaat Tuhan untuk menjaga kekudusan dalam Firman dan pelayanan. Ironisnya, orang kristen sendiri tidak kritis terhadap dirinya sendiri sehingga banyak konsep-konsep kepalsuan religius yang sudah mencuci otak konsep mereka tentang apa itu kekristenan.

Hari ini, Era Postmodernisme telah merusak dunia termasuk kehidupan jemaat dan gereja Tuhan dengan semangat:

a. Relativisme. Tidak ada kebenaran absolut. Tidak ada kebenaran yang sejati. Semuanya adalah kebenaran. Meskipun berbeda-beda tetapi itu adalah kebenaran. Perbedaan itu hanyalah karena perbedaan perspektif/ cara pandang kita melihat saja. Siapakah yang berhak menentukan kebenaran adalah benar? Lyotard mengatakan biarkanlah komunitas yang menentukan kebenaran. Dalam hal ini Lyotard memberikan ruang lebar bagi manusia untuk bebas menentukan kebenaran itu benar atau tidak benar sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Bukankah ini ide win-win solution yang tidak realistis dan konyol? Gereja mempermainkan dan dipermainkan oleh kebenaran. Jemaat juga mempermainkan dan dipermainkan oleh kebenaran dan semuanya itu benar?

b. menekankan freedom yang pluralis – multi form. Apakah saudara masih ingat kontroversi karikatur gambar Muhammad yang diterbitkan oleh surat kabar terkemuka di Denmark, Jyllands-Posten sehingga dunia islam marah besar bagai kebakaran jenggot. Menurut saudara, kenapa surat kabar tersebut berani menerbitkan karikatur gambar Muhammad padahal mereka tahu tindakan mereka begitu berbahaya bagi kaum extremis islam? Pesan mereka adalah self-censored dan freedom of speech/expression dari imajinasi mereka mengenai Muhammad. Meskipun mereka meminta maaf kepada dunia islam, mereka tidak sudi menarik karya karikatur kontroversial tersebut karena itulah kebebasan yang harus dihormati oleh siapapun, termasuk dunia islam. Jika mereka menggunakan freedom of speech/ expression dengan benar maka semua orang sehati menghormati freedom of speech mereka. Jika mereka menyalahgunakan freedom of speech/expression mereka hanya untuk “having fun”, secara tidak langsung, mereka telah mempermainkan freedom of speech mereka sendiri. Ada gereja yang memberikan “fenomenal religius” yang meresahkan masyarakat dengan penginjilan terhadap arwah orang mati, bagaimana kita menanggapinya? Tahukah kita bahwa itu tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan? Seringkali kita telah melihat kepalsuan religius ada disekeliling kita tapi mulut kita dibungkamkan oleh freedom of speech/ expression kafir. Ahmadiyah dianggap palsu oleh orang Islam, justru orang Islam mati-matian menyerang Ahmadiyah karena mereka telah murtad dari kebenaran islami. Jadi respon mana yang benar? Diam atau fight?

c. gol utama mareka adalah mencapai perdamaian dalam dunia ini, oleh karena itu mereka rela membuang sejarah sebagai akar, menekankan keunikan aestetic dalam freedom of speech/expression tanpa mempedulikan etika dalam sejarah manusia. Contoh, Oikumene adalah gerakan yang merangkul berbagai macam denominasi gereja-gereja agar saling hormat menghormati dan meniadakan perbincangan teologis yang mereka anggap error”. Bagaimana bisa damai jika kebenaran Tuhan diterima oleh gereja-gereja dengan berita yang berbeda-beda? Charles Spurgeon mengatakan justru perdamaian dan persatuan dapat terealisasikan dengan baik apabila semua oknum kembali kepada satu-satunya kebenaran. Oleh karena itu, dapatkah dunia mencapai perdamaian? Jika tidak kembali kepada Allah sebagai kebenaran absolut maka tidak mungkin ada perdamaian dalam dunia ini.

d. Sosial totalitas, rakyat jadi boss maka pemerintahan harus melayani rakyat. Menurut saya, panggilan gereja adalah bagaimana mendidik jemaat tuk kembali konsentrik terhadap Firman Allah. Sebagai contoh: Kalau dahulu pendidikan sekolah, murid harus takut kepada Kebenaran, Sekarang justru kebalikannya, guru takut murid karena guru dapat disue oleh orang tua murid karena melakukan tindakan penyiksaan terhadap anak mereka. Guru punya kuasa atau murid punya kuasa lebih besar? Inilah keterbalikan logika dalam sosial totalitas.

e. Banyak mereka lebih mendeklarasikan persamaan daripada perbedaan sehingga mereka melakukan “revisi ulang”/istilah dari Jacques Derrida “re-reading” disesuaikan dengan konteks lokal. Misalnya: Saya mendengar kabar dari seorang dosen Perjanjian Lama di seminari bahwa LAI pernah mengalami kesulitan dalam menerjemahkan Yesus Anak Domba Allah ke dalam bahasa Papua. Kenapa demikian? Problem lokal Papua adalah mereka belum pernah melihat binatang domba sehingga mereka berniat mengganti domba menjadi babi, karena banyak babi di Papua. Benarkah hal tersebut? Tidak. Jadi Jelas, ini bertentangan dengan isi Firman Tuhan. Menurut penulis, mereka justru harus dididik mengenai domba, bukan mengexcuse diri dan mengubah kata domba jadi babi. Itu tindakan terlalu pragmatis dan tidak bertanggungjawab. Justru kita harus jujur mengatakan definisi yang sesungguhnya yaitu mendidik gereja dan jemaat tuk setia di dalam Kebenaran Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak yang menjadi kunci kebenaran dan perdamaian yang sejati.

By His Grace
Daniel Santoso
Guangzhou, China

Tidak ada komentar: